REFLEKSI MODUL 3.3 PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK PADA MURID

Pada kesempatan kali ini saya akan merefleksikan pembelajaran pada modul 3.3 mengenai Pengelolaan Program yang Berdampak pada Murid yang sudah saya pelajari selama 2 minggu. Saya akan melakukan refleksi dengan menggunakan metode 4F (Fact, Feeling, Findings dan Future) yang diprakarsai oleh Dr Roger Greenaway. 4F ini dalam Bahasa Indonesia dapat diterjemahkan menjadi 4P yaitu Peristiwa, Perasaan, Pembelajaran dan Penerapan. 

Modul 3.3 ini merupakan modul terakhir dalam Program Guru Penggerak Angkatan IX tahun 2023. Syukur Alhamdulillah setelah melewati pembelajaran mulai dari Paket Modul 1 (Paradigma dan Visi Guru Penggerak), Paket Modul 2 (Praktik Pembelajaran yang Berpihak pada Murid) dan Paket 3 (pemimpin Pembelajaran dalam Pengembangan Sekolah), tentu sudah banyak ilmu-ilmu baru yang dapat diimplementasikan dalam pembelajaran di sekolah. Pada modul 3.3 ini salah satu topik yang penting karena membahas program yang melibatkan siswa sebagai student agency. Keterlibatan siswa dalam sebuah program di sekolah bermanfaat untuk membantu pengembangan karakter dari siswa. Siswa tidak hanya fokus pada pelajaran intrakulikuler saja, namun mereka juga dapat menyerap pembelajaran dari ektrakulikuler ataupun kokurikuler melalui program sekolah yang dirancang oleh guru.  

Selama mengikuti pembelajaran di modul 3.3, saya banyak belajar bagaimana merancang program baik yang terintegrasi dengan pelajaran intrakulikuler, ektrakulikuler ataupun kokulikuler. Program yang dirancang tentu saja mempertimbangkan siswa sebagai sasaran pengembangan karakter dan juga melibatkan warga sekolah.   Student agency (kepemimpinan murid) menjadi point penting dalam membuat program, karena pelibatan siswa dalam program bertujuan untuk membentuk karakter siswa yang tertuang dalam profil pelajar pancasila. Sebagaimana maksud pendidikan menurut Ki Hadjar Dewantara yaitu Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). Artinya apa? Sebagai seorang pendidik dalam merancang program, perlu memperhatikan bahwa dalam program dapat memenuhi unsur pembelajaran yang berpusat pada murid, menyenangkan, bermakna dan relevan dengan kehidupan murid (kontekstual).  Dalam membuat program di sekolah, ada 3 aspek penting dalam menumbuhkan kepemimpinan murid, yaitu suara (voice), pilihan (choice) dan kepemilikan (ownership). Tugas kita sebagai guru sebenarnya hanya menyediakan lingkungan yang menumbuhkan budaya di mana murid memiliki suara, pilihan, dan kepemilikan dalam apa yang mereka pikirkan, niat yang mereka tetapkan, bagaimana mereka melaksanakan niat mereka, dan bagaimana mereka merefleksikan tindakan mereka. 

Ada beberapa hambatan yang saya dapatkan dalam merancang program, diantaranya adalah program yang dirancang sebaiknya harus disesuaikan dengan prioritas masalah yang ada di sekolah sesuai dengan hasil di raport mutu sekolah. Guru juga perlu memikirkan keterlibatan banyak pihak agar sasaran dari program ini dapat tercapai. Selain itu, dalam pelaksanaan program perlu ada kontrol dari guru. Dalam hal ini perlu adanya kolaborasi dengan guru lain dalam pelaksanaan  program. Refleksi perlu dilakukan secara berkala untuk menilai sejauh mana keberhasilan dari program dengan melibatkan kepala sekolah, guru, dan siswa yang terlibat. Keberlanjutan program sangat ditentukan melalui komitmen dan kolaborasi yang kuat di internal sekolah. 

Perasaan saya selama mengikuti pembelajaran pada modul ini, saya merasa tertarik dan tertantang dengan pemahaman baru yang saya dapatkan. Program-program yang selama ini ada di sekolah belum memperhatikan aspek-aspek dalam student agency, sehingga saya merasa lebih bersemangat untuk terlibat dalam pengembangan sekolah. Pada akhir pembelajaran di modul ini ada rasa senang dan beruntung bisa ada di program guru penggerak ini, banyak pengetahuan baru dan saya merasa terperbaharui sehingga menjadi bekal bagi saya untuk bisa menerapkannya dalam pembelajaran di kelas. 

Modul 3.3 ini menambah pemahaman saya bagaimana menyusun dan merancang kegiatan yang akan memberikan dampak positif bagi murid. Dampak positif tersebut diharapkan dapat menumbuhkan kepemimpinan murid atau student agency. Agar kegiatan tersebut dapat berdampak bagi murid, perlu mempertimbangkan suara (voice), pilihan (choice) yang dimiliki murid sehingga akan menimbulkan kepemilikan (ownership) bagi murid.

Dalam merancang program yang akan berdampak pada murid, yang pertama kali harus dilakukan adalah mapping asset atau memetakan potensi yang dimiliki oleh sekolah dengan tepat. Dengan mapping asset, tentunya akan memudahkan kita dalam membantu optimalisasi program agar dapat berjalan dengan baik dan lancar dan meminimalisir hambatan-hambatan yang akan ditemui. Program yang berdampak pada murid ini juga bisa digunakan sebagai alat untuk mewujudkan visi dan misi sekolah.




Share:

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.3 PENGELOLAAN PROGRAM YANG BERDAMPAK PADA MURID

 

Kreativitas hanyalah menghubungkan berbagai hal. Ketika Anda bertanya kepada orang-orang kreatif bagaimana mereka melakukan sesuatu, mereka merasa sedikit bersalah karena mereka tidak benar-benar melakukannya, mereka hanya melihat sesuatu. Sesuatu itu tampaknya jelas bagi mereka setelah beberapa saat. Itu karena mereka dapat mengkoneksikan pengalaman yang mereka miliki dan mensintesis hal-hal baru.”
 -Steve Jobs-

Pertama, ijinkan saya mengutip kutipan dari Steve Jobs di atas. Menarik bagi saya karena ternyata koneksi antar materi ini merupakan awal dari lahirnya sebuah kreatifitas. Kreatifitas muncul karena seseorang pandai mengkaitkan apa yang sudah dilakukan dari pengalaman nya dan kemudian  mensintesis hal-hal baru yang memperkaya pengetahuannya sehingga melahirkan kreatifitas dan inovasi. 

Pada modul 3.3 ini, setelah mempelajari materi tentang Pengelolaan Program yang Berdampak pada Murid, saya merasa senang, menikmati dan terinspirasi dengan gagasan/ide-ide yang selama ini tidak terpikirkan bisa menjadi sebuah program yang menarik, menyenangkan, bermakna, dan berdampak baik pada perkembangan murid di sekolah. Saya akui pada sesi kolaborasi dengan CGP yang lain di ruang kolaborasi dan lokakarya memperkaya referensi saya dalam membuat program yang berpihak pada murid, melibatkan murid dengan memperhatikan Student Agency.  Pelibatan murid dalam setiap program sangat penting dirancang sedemikian rupa agar program tersebut benar-benar tepat sasaran dan mampu mengembangkan karakter murid, sehingga ketika murid kembali ke masyarakat mereka menjadi bagian dari komunitas yang dapat berkontribusi positif bagi lingkungan tempat tinggalnya. Sebagaimana filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara,  yang mengatakan maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk perikehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat). 

Namun, di sisi lain, saya juga merasakan tantangan yang nyata. Menerapkan konsep-konsep yang diajarkan dalam modul ini dalam konteks dunia nyata memerlukan keberanian dan keterampilan praktis yang mungkin belum sepenuhnya saya kuasai. Saya juga menyadari pentingnya belajar dari rekan guru dan berkomitmen untuk mengembangkan prakarsa perubahan melalui BAGJA. Dapat saya tarik kesimpulan bahwa sebagai guru pentingnya menciptakan program yang melibatkan murid untuk memberikan dampak positif jangka pendek maupun jangka panjang. 

Kemudian, Inti sari pembelajaran Modul 3.3 dan kaitannya dengan modul yang sudah dipelajari sebelumnya,  yang saya dapatkan diantaranya dalam menyusun program di sekolah harus memperhatikan keterlibatan murid dan memanfaat kekuatan asset yang tersedia di sekolah dan menjadikan murid sebagai agen perubahan yang kontributif bagi lingkungan sekolah dan sekitar.  Guru perlu mengoptimalkan potensi sekolah dengan memetakan aset yang baik dan menggunakan pendekatan berbasis aset. Selain itu, perlu diperhatikan dalam penyusunan program memperhatikan kebutuhan individu murid, diferensiasi dalam pembelajaran, dan fokus pada perkembangan sosial emosional. Hal-hal tersebut perlu menjadi catatan guru sebagai pemimpin pembelajaran dalam merancang program yang pro terhadap perkembangan murid secara intelektual dan moral. 

Selain itu, dalam menjalankan program yang sudah disusun tentu saja sebagai seorang guru juga perlu mengantisipasi tantangan dan permasalahan yang akan dihadapi ke depannya. Mungkin saja dalam pelaksanaannya guru akan menemukan kendala/ masalah yang berkaitan dengan dilema etika atau bisikan moral. Oleh karena itu, dalam pengambilan keputusan sebagai guru penggerak tentu perlu mengedepankan 3 prinsip, 4 paradigma dan 9 langkah pengambilan keputusan yang dapat menuntun seorang pendidik sebelum membuat keputusan yang tepat. Pelibatan murid dalam program juga perlu memperhatikan nilai-nilai kebaikan yang ingin ditanamkan pada murid, sebagaimana filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara, guru menuntun murid sesuai kodrat alam dan zamannya. Iabarat kertas putih yang samar-samar, tugas guru untuk menebalkan karakter positif pada murid dan menyamarkan hal-hal negatif pada dirinya. Dengan merancang program yang berpihak pada murid, diharapkan kelak murid-murid ini memiliki karakter profil pelajar pancasila yang merupakan tujuan dari pendidikan nasional. Tentu saja dalam merancang program guru penggerak tidak bisa bekerja sendiri, keberhasilan sebuah program memerlukan kolaborasi dengan rekan guru dan warga sekolahdan perlu dilakukan refleksi setiap kali tahapan program dijalankan. Dengan demikian, tujuan dari program dapat tepat sasaran, fokus pada pengembangan murid dengan mengedepan student agency dan berkelanjutan. Berkelanjutan dalam artian program ini dapat berjalan terus menerus dengan perbaikan dan berdampak positif pada murid. Tidak hanya berdampak di sekolah namun dapat menjadi bekal bagi murid dalam berinteraksi di masyarakat.  Harapan nya adalah murid dapat diterima di masyarakat dengan karakter yang baik. Lebih jauh lagi karakter-karakter yang murid dapatkan dari program sekolah membuat mereka menjadi lebih peka terhadap permsalahan-permasalahan yang ada di sekitar lingkungan tempat tinggalnya sehingga mampu memberikan kontribusi positif. 





 










Share:

JURNAL REFLEKSI MODUL 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

 


Assalamualaikum, saya Arfi Kurniawan Calon Guru Penggerak Angkatan 9 Provinsi Kep. Bangka Belitung. Pada kesempatan ini saya akan menulis mengenai Jurnal Refleksi Dwi Mingguan pada modul 3.2 tentang Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya. Jurnal ini sebagai refleksi diri setelah selama dua minggu ke-2 mengikuti kegiatan Pendidikan CGP yang kedepannya akan ditulis secara rutin selama dua mingguan sebagai tugas yang harus dikerjakan oleh calon guru penggerak.

Dalam menulis jurnal refleksi ini saya menggunakan model 4F (Fact, Feeling, Findings, dan Future, yang diprakarsai oleh Dr. Roger Greenaway. 4F dapat diterjemahkan menjadi 4P yakni : Peristiwa; Perasaan; Pembelajaran; dan Penerapan.

1.       Fact (Peristiwa)

Setelah mempelajari modul 3.2, saya melanjutkan ke materi modul 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya. Saya mulai mempelajari modul 3.2 tentang Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya secara daring di LMS dengan alur M-E-R-D-E-K-A yaitu: mulai dari diri, eksplorasi konsep, ruang kolaborasi, demonstrasi kontekstual, elaborasi pemahaman, koneksi antarmateri dan aksi nyata. Saya membuka alur pertama “Mulai dari Diri”. Di sini saya diminta untuk menjawab tujuh pertanyaan yang bertujuan untuk mengaktifkan ulang pengetahuan awal Anda tentang ekosistem sekolah dan peran pemimpin dalam pengelolaan sumber daya sekolah.

Saya lanjutkan alur kedua yaitu eksplorasi konsep. pada alur eksplorasi konsep saya sebagai calon guru penggerak belajar secara mandiri melalui materi-materi yang disajikan dalam forum LMS, saya juga diminta untuk mendalami materi pemimpin dalam pengelolaan sumber daya. Disini kami mempelajari sekolah sebagai ekosistem, Pendekatan Berbasis Kekurangan/Masalah (Deficit-Based Approach) dan Pendekatan Berbasis Aset/Kekuatan (Asset-Based Approach), pendekatan ABCD (Asset Based Community Development), karakteristik komunitas yang sehat dan komunitas, pengalaman rapat dan mendiskusikan murid. Disini juga kami mempelajari kasus 1 dan kasus 2 tentang kegiatan rapat guru membahas kegiatan perpisahan kelulusan murid. Kami diajak untuk melakukan analisa mengenai suasana rapat tersebut.

Setelah kami lanjut 3.2.a.4.1. Eksplorasi Konsep – Pertanyaan Pemantik. disini kami membaca penjelasan tentang pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset, disini kami diminta melihat ulang jawaban dari pertanyaan pemantik sebelumnya. Selanjutnya kami menjawab pertanyaan yang disajikan Eksplorasi Konsep (Forum Diskusi Asinkron).  Kegiatan selanjutnya yaitu 3.2.a.4.2. Eksplorasi Konsep – Forum Diskusi. disini kami diminta untuk mengerjakan 2 studi kasus tentang hubungkan dengan materi pendekatan berbasis masalah dan pendekatan berbasis aset, serta Pengembangan Komunitas Berbasis Aset.

Kegiatan selanjutnya yaitu alur ketiga ruang kolaborasi dibagi menjadi dua sesi. sesi satu adalah diskusi dengan anggota kelompok yang dipandu oleh fasilitator dan yang kedua adalah bagian presentasi hasil diskusi kelompok. Semua itu dilakukan melalui room google meet. Disini kami melakukan diskusi untuk membahas kekuatan/aset sumber daya yang dimiliki di sekolah masing-masing dan daerah kami. Dilanjutkan ruang kolaborasi sesi 2 yaitu presentasi hasil kelompok.

Kegiatan selanjutnya di alur empat demonstrasi kontekstual, kami ditugaskan untuk menganalisis video di LMS tentang visi dan prakarsa perubahan, mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masing-masing tahapan BAGJA, mengidentifikasi peran pemimpin pembelajaran, dan menganalisis modal utama yang dapat dimanfaatkan.

 

Kegiatan selanjutnya di alur kelima elaborasi pemahaman, saya ditugaskan untuk memberikan pertanyaan yang dapat menguatkan pemahaman saya tentang isi modul 3.2. Ada beberapa  yang akan menguatkan pemahaman saya akan materi konsep di modul 3.2. Alur terakhir dari alur merdeka adalah aksi nyata. Pada aksi nyata ini kami sebagai calon guru penggerak diminta untuk melakukan aksi nyata dengan mengidentifikasikan sumber daya sebagai aset/kekuatan yang dimiliki sekolah. Identifikasi sumber daya sekolah dilakukan secara kolaboratif agar semua warga sekolah dapat bersama-sama mengetahui dan memanfaatkannya untuk peningkatan kualitas pendidikan.

 

2.       Perasaan (Feeling)

Perasaan sebelum mempelajari modul 3.2 ini saya berpikir kekurangan dan masalah yang ada di sekolah dan saya berpikir bahwa aset yang ada di sekolah hanya berupa sarana dan prasarana yang di sekolah. Setelah mempelajari modul 3.2 pemimpin dalam pengelolaan sumber daya akhirnya saya mampu merubah cara berpikir saya bahwa kita harus berpikir berbasis aset/kekuatan. Dengan cara pandang berbasis aset ini membuat saya mengoptimalkan aset/modal dan kekuatan yang ada untuk melaksanakan program sekolah. Berpikir berbasis aset/kekuatan sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin karena pemimpin harus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam ekosistem sekolahnya. Dengan memaksimalkan potensi yang ada dapat menggerakan ekosistem sekolah untuk dapat berpikir positif dalam mengembangkan sekolah.

Perasaan saya setelah mempelajari modul sangat senang, bersemangat, dan optimis bahwa kita begitu banyak memiliki aset/modal potensi yang belum tergali dan belum dimanfaatkan dengan optimal. Saya juga senang karena dapat berbagi praktik baik bagaimana kita memetakan aset/modal yang ada di sekolah. Dengan memetakan aset/modal yang ada kita dapat memanfaatkannya untuk merencanakan program yang berdampak bagi murid. Hasil pemetaan aset dan pemanfaatannya membuat kami optimis untuk memanfaatkan aset/modal yang dimiliki untuk mengembangkan sekolah yang berdampak bagi murid. Saya juga senang dapat mengajak rekan-rekan sejawat untuk berpikir berbasis kekuatan. Berpikir berbasis kekuatan ini membuat kita menyadari potensi yang dimiliki dan dimanfaatkan dalam program-program sekolah.

 

3.       Pembelajaran (Findings)

Pembelajaran yang saya peroleh dalam modul ini yaitu kami diajak untuk mengingat dan menulis tentang sekolah adalah sebuah ekosistem yang terdiri dari faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi untuk menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Faktor biotik seperti murid, kepala sekolah, guru, staf sekolah, pengawas sekolah, orang tua, masyarakat sekitar sekolah, dinas terkait, dan pemerintah daerah saling memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Sedangkan faktor abiotik seperti keuangan, sarana dan prasarana, dan lingkungan alam juga berperan aktif dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Dengan memahami ekosistem sekolah, diharapkan dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara semua faktor yang terlibat dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam pengelolaan sumber daya dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu

Pendekatan berbasis kekurangan (deficit-based approach) akan memusatkan perhatian pada masalah dan kekurangan yang ada di sekolah.

Pendekatan berbasis aset (asset-based approach) akan memusatkan perhatian pada kekuatan dan potensi yang ada di sekolah.

Pendekatan berbasis aset memiliki manfaat yang lebih positif dalam mengembangkan diri dan mencari peluang, daripada pendekatan berbasis kekurangan yang cenderung menimbulkan pikiran negatif. Oleh karena itu, sebaiknya kita mengadopsi pendekatan berbasis aset untuk melihat sumber daya sekolah agar dapat memanfaatkan kekuatan dan potensi yang ada untuk mencapai kesuksesan.

Selain itu pengelolaan sumber daya yang ada di sekolahnya juga dapat menggunakan Asset-Based Community Development (ABCD) kita sebut dengan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann. Pendekatan PKBA atau Asset-Based Community Development (ABCD) merupakan suatu kerangka kerja yang membangun kemandirian dari suatu komunitas dengan memfokuskan pada potensi aset/sumber daya yang dimilikinya.

Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan tradisional yang menekankan pada masalah, kebutuhan, dan kekurangan pada suatu komunitas. PKBA menekankan pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki oleh komunitas. Dengan demikian, pendekatan PKBA mendorong terciptanya kehidupan komunitas yang lebih berkelanjutan dan berdaya guna. Di dalam sebuah sekolah, pendekatan PKBA dapat diterapkan dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh seluruh warga sekolah agar kegiatan pendidikan dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif. Sekolah bisa kita pandang sebagai sebuah komunitas. Karena itu, sekolah dapat belajar tentang bagaimana menjadi komunitas yang sehat dan tangguh. Bank of I.D.E.A.S (2014) menyebut bahwa karakteristik komunitas yang sehat dan resilien adalah sebagai berikut:

  •   Mempraktikkan dialog berkelanjutan dan partisipasi anggota masyarakat
  •  Menumbuhkan komitmen terhadap tempat
  • Membangun koneksi dan kolaborasi
  • Mengenal dirinya sendiri dan membangun aset yang ada
  • Membentuk masa depannya
  • Bertindak dengan obsesi ide dan peluang
  •  Merangkul perubahan dan bertanggung jawab
  • Menghasilkan kepemimpinan

Komunitas sekolah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya seperti halnya komunitas pada umumnya dengan menggunakan pendekatan pengembangan komunitas berbasis aset. Pemanfaatan sumber daya tersebut dapat dilakukan dengan memetakan tujuh aset utama atau modal utama yang meliputi modal manusia, modal sosial, modal politik, modal agama & budaya, modal fisik, modal lingkungan/alam dan modal finansial. Dalam pemanfaatannya, ketujuh aset tersebut dapat saling beririsan satu sama lain.

 

  1. 1.       Modal manusia: dapat diidentifikasi melalui pemetaan individu berdasarkan pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan yang dimiliki.
  2. 2.       Modal sosial: terdiri dari norma, aturan, kepercayaan, dan jaringan antar unsur di dalam komunitas/masyarakat.
  3. 3.       Modal politik: mencakup kemampuan kelompok untuk memengaruhi distribusi sumber daya di dalam unit sosial dan merupakan instrumen melalui sumber daya manusia yang dapat memengaruhi kebijakan.
  4. 4.       Modal agama dan budaya: Agama berperan dalam mengintegrasikan perilaku individu dalam sebuah komunitas, sedangkan kebudayaan merujuk pada hasil karya manusia yang lahir dari serangkaian ide, gagasan, norma, perilaku, serta benda.
  5. 5.       Modal fisik: terdiri dari bangunan dan infrastruktur.
  6. 6.       modal lingkungan/alam: mencakup potensi alam yang belum diolah dan memiliki nilai ekonomi tinggi.
  7. 7.       modal finansial adalah dukungan keuangan yang dimiliki oleh sebuah komunitas dan dapat digunakan untuk membiayai pembangunan dan kegiatan.

Pemanfaatan ketujuh modal utama tersebut dapat dilakukan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah. Kesimpulan dari pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya adalah Sebagai seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengenali, menggali, menganalisis, dan memetakan potensi sumber daya di sekolah kita dengan menggunakan pendekatan berbasis aset (asset-based thinking). Dalam menerapkan pendekatan ini, kita harus memanfaatkan dan memberdayakan aset tersebut secara optimal untuk mewujudkan perubahan dalam pembelajaran yang berpihak pada murid, sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa pembelajaran harus berpihak pada murid. Untuk mewujudkan hal tersebut, sebagai pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya, kita juga harus dapat menggali kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh suatu komunitas dalam ekosistem, baik itu dari komponen abiotik maupun biotik. Kita harus memandang setiap hal sebagai aset yang menjadi modal utama dalam mengembangkannya. Ada 7 modal utama atau aset yang harus dikelola, yaitu modal manusia, modal sosial, modal politik, modal agama dan budaya, modal fisik, modal alam/lingkungan, dan modal finansial. Hal ini sangat penting dalam mewujudkan perubahan dalam pembelajaran yang berpihak pada murid. Oleh karena itu, sebagai pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya, kita harus dapat mengimplementasikan pendekatan berbasis aset ini di kelas, sekolah, dan masyarakat sekitar kita

 

4.       Penerapan (Future)

Kedepannya dalam penerapan di kelas dan di sekolah bahwa sebagai pemimpin saya harus mengelola 7 aset utama sebagai kekuatan dalam meningkatan mutu pendidikan sekolah dengan menggunakan pendekatan berbasis kekuatan/aset dan pendekatan berbasis kekurangan. Saya memandang guru sebagai aset manusia yang utama dalam melaksanakan pembelajaran harus berinovasi dan memperkaya diri dalam mengelola sumber daya di kelas dan di sekolah agar tercipta pendidikan yang berpihak pada murid.

Menuntun segala kodrat yang ada pada anak, memberdayakan nilai dan peran guru, membuat visi perubahan, menciptakan budaya positif, menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan sosial emosional agar pengambilan keputusan tepat, melakukan coach dan supervisi akademik, pengambilan keputusan yang berbasis nilai kebajikan dapat dilakukan jika pengelolaan sumber daya dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh.

 

 


Share:

REFLEKSI MODUL 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

 Assalamualaikum wr wb. 

Pada kesempatan kali ini, saya akan merefleksikan pembelajaran yang sudah saya jalani selama mempelajari Modul 3.1 mengenai Pengambilan Keputusan yang Berbasis Nilai-nilai Kebajikan. Saya akan memuat refleksi dengan metode 4F (Fact, Feel, Find, Future) yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. 

Setelah 2 minggu mempelajari Modul 3.1 banyak sekali hal-hal baru yang dapat diserap dan diterapkan di sekolah, diantaranya terkait dengan pengambilan keputusan ada langkah-langkah sistematis yang perlu dilakukan dan menjadi bahan pertimbangan sebelum pada akhirnya memutuskan keputusan yang tepat. Seperti yang sudah dipelajari ada 3 prinsip, 4 paradigma dan 9 langkah pengambilan keputusan yang dapat menuntun seorang pendidik sebelum membuat keputusan yang tepat. Tentu saja keputusan yang diambil didasarkan pada 3 dasar pengambilan keputusan yaitu tanggung jawab, bernilai kebajikan dan berpihak pada murid. Selain itu, yang juga menjadi pedoman dasar pengambilan keputusan adalah pratap triloka Ki Hadjar Dewantara : Ingarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Hal baik yang saya dapatkan pada pembelajaran kali ini, ada sesi bertukar pikiran dengan Kepala Sekolah melalui sesi wawancara, berbagi pengalaman Kepala Sekolah dalam menghadapi permasalahan dan berkaitan dengan pengambilan keputusan yang bijak. Ada point-point penting yang saya catat dari sesi wawancara dengan kepala sekolah diantaranya : 

  1. Pengambilan keputusan di sekolah didasarkan pada musyawarah dengan warga sekolah.
  2. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama setelah melewati serangkaian prosedur. 
  3. Pertimbangan pengambilan keputusan dapat dilihat dari berbagai masukan diantaranya tim kecil yang bertugas dalam melakukan kajian yang terdiri dari kesiswaan, guru, dan BK
  4. Penegakan aturan di sekolah mempertimbangkan nilai-nilai etika seperti tanggung jawab pada tugas, empati, keadilan dan lain sebagainya. 
Dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan dilema etika dan bujukan moral sebagai seorang pendidik tetap berpegangan nilai-nilai etika.  Sebagai seorang pendidik ada standar etika yang harus dipegang dalam setiap tindakan yang diambil, terutama dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai kebajikan dalam etika adalah pegangan utama yang harus dijunjung tinggi, misalnya nilai keadilan untuk menegakkan aturan, empati kepada siswa, tanggung jawab dalam tugas dan lain sebagainya. Sebagaimana dasar dalam pengambilan keputusan memperhatikan tiga dasar, yaitu tanggung jawab, mengandung nilai kebajikan dan berpihak pada murid. Seorang pendidik ketika dihadapkan dengan kasus-kasus yang fokus terhadap masalah moral dan etika, baik secara sadar atau pun tidak akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai yang dianutnya akan mempengaruhi dirinya dalam mengambil sebuah keputusan. Jika nilai-nilai yang dianutnya nilai-nilai positif maka keputusan yang diambil akan tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan dan begitupun sebaliknya. 

Setelah mengikuti rangkaian tahapan pembelajaran mulai dari diri, eksplorasi konsep, ruang kolaborasi, demonstrasi kontekstual, elaborasi pemahaman, koneksi antar materi dan aksi nyata di modul 3.1 yang saya rasakan sangat menikmati pembelajaran yang sudah saya pelajari. Dalam ruang kolaborasi saya bisa tercerahkan dengan materi karena mendapatkan pemahaman dari rekan CGP melalui kolaborasi bersama dalam kelompok. Pengalaman berkolaborasi dalam Program Guru Penggerak ini sangat berkesan, karena seringkali ide/gagasan baru dapat saya serap dari rekan sesama CGP. Budaya kolaborasi ini sangat positif dan baik jika diterapkan di sekolah, terutama berkaitan dengan pengambilan keputusan atau penetapan kebijakan di sekolah. Kolaborasi antar warga sekolah dalam memutuskan perkara, menetapkan kebijakan, program dlsb tentu akan menghasilkan keputusan bersama dengan harapan  berpihak pada murid.  

Dengan mempelajari modul 3.1 ini, saya menemukan pengetahuan baru tentang langkah-langkah dalam pengambilan keputusan. Pelajaran yang dapat saya ambil sebagai pemimpin pembelajaran setiap permasalahan harus terlebih dahulu diidentifikasi dengan benar akar permasalahannya. Sebelum memutuskan sebuah perkara ada baiknya untuk mendengar ide/gagasan dari warga sekolah. Keputusan yang diambil adalah keputusan bersama yang diperoleh melalui dialog/musyawarah. Pengambilan keputusan ini dengan berpedoman pada 3 prinsip, 4 paradigma dan 9 langkah pengambilan keputusan. Selain itu juga menjunjung tinggi nilai etika yang berisi nilai-nilai kebajikan, apalagi yang berkaitan dengan masa depan murid. Dengan demikian, diharapkan keputusan final yang dihasilkan adalah keputusan yang sudah melewati serangkaian pertimbangan yang matang. 

Ke depan nya nanti apabila nanti saya menemukan permasalahan yang berkaitan dengan dilema etika dan bujukan moral, saya akan memikirkan solusi dari permasalahan melalui langkah-langkah yang sudah saya pelajari pada modul ini. Dari sesi wawancara dengan kepala sekolah, saya juga bisa mengadopsi pola pengambilan keputusan yang sudah digunakan pada beberapa perkara dimana dihadapkan pada penetapan kebijakan. 




Share:

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN 

Sebagai seorang pendidik seringkali akan  bersinggungan atau berhadapan dengan permasalahan-permasalahan di sekolah, yang berkaitan dengan kesiswaaan, tantangan/ hambatan dalam proses pembelajaran di kelas atau permasalahan dengan warga sekolah lain. Permasalahan-permasalahan ini tentu saja memerlukan solusi yang tepat. Oleh karena itu, sebagai pemimpin pembelajaran guru juga perlu memiliki kompetensi yang mumpuni dalam memutuskan solusi dari permasalahan tersebut. Harapan dari solusi yang diputuskan adalah solusi yang bisa memfasilitasi kebutuhan dari seluruh warga sekolah. Dalam hal ini misalnya permasalahan yang berkaitan dengan siswa dan pembelajaran di kelas solusi yang diputuskan oleh guru haruslah berpihak pada murid. Kemudian, solusi dari permasalahan yang berkaitan dengan warga sekolah juga harus memenuhi aspek wellbeing warga sekolah. 




Lalu, Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpinFilosofi Ki Hadjar Dewantara ( Ing ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani) merupakan  prinsip dasar dalam mengambil keputusan agar solusi yang diputuskan merupakan solusi yang berpihak pada murid. Kalau saya kaitkan dengan wawancara dengan kepala sekolah, mengatakan bahwa setiap masalah yang dialami oleh siswa tentu memiliki latar belakang yang perlu dianalisis lebih dalam penyebabnya. Tindakan yang dilakukan oleh siswa punya alasan tertentu yang perlu dieksplorasi oleh guru sebelum mengambil keputusan. Guru perlu melakukan investigasi dari siswa, keluarga, dan lingkungan tempat tinggal nya. Seburuk-buruk penilaian terhadap siswa pasti ada nilai-nilai kebaikan yang ditemukan pada dirinya dan itu menjadi pertimbangan oleh sekolah untuk memutuskan solusi terbaik terhadap permsalahan yang dibuat oleh siswa. Pada akhirnya keputusan yang diambil adalah keputusan yang memperhatikan masa depan pendidikan dari siswa atau dengan kata lain Berpihak pada Murid.

Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan? Sebagai seorang pendidik ada standar etika yang harus dipegang dalam setiap tindakan yang diambil, terutama dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai kebajikan dalam etika adalah pegangan utama yang harus dijunjung tinggi, misalnya nilai keadilan untuk menegakkan aturan, empati kepada siswa, tanggung jawab dalam tugas dan lain sebagainya. Sebagaimana dasar dalam pengambilan keputusan memperhatikan tiga dasar, yaitu tanggung jawab, mengandung nilai kebajikan dan berpihak pada murid. 

Dalam pengambilan keputusan biasanya yang saya alami menimbulkan keraguan atas keputusan yang diambil. Lalu bagaimana mengatasi hal tersebut? 1 hal yang saya dapatkan ketika melakukan diskusi tanya jawab dengan Kepala SMAN 2 Sungaiselan, Dr. Hamdan, S.Pd.,M.M  ketika mengalami keraguan, keputusan final yang diambil perlu pengkajian ulang dari sisi data yang menjadi pertimbangan dalam  pengambilan keputusan. Kemudian proses yang sudah sesuai prosedur. Pedoman kita dalam memutuskan suatu perkara adalah aturan. Namun, penegakan aturan terutama dalam institusi pendidikan perlu pertimbangan nilai-nilai etika, seperti empati, tanggung jawab, keadilan dan lain sebagainya. Efektifitas pengambilan keputusan apabila menemukan keraguan atau kejanggalan dapat dikaji lebih lanjut melalui sesi "Coaching" atau bimbingan dengan pendamping atau fasilitator. Dalam sesi coaching dengan menggunakan alur TIRTA akan membantu kita untuk membuka pikiran/ menganalisis proses pengambilan keputusan tersebut apakah sudah sesuai. 



Kompetensi sosial emosional juga merupakan aspek yang perlu dimiliki oleh guru dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan dilema etika. Kemampuan sosial emosional yang perlu didalami oleh guru untuk memutuskan suatu permasalahan diantaranya dalam hal mengelola diri, mengelola stress, mempertimbangkan pendapat orang lain, rasa empati dan kepedulian terhadap orang lain serta kemampuan berkomunikasi efektif. Kemampuan-kemampuan tersebut tentu akan membantu guru untuk berpikir jernih dalam mempertimbangkan solusi terbaik yang diambil saat berhadapan dengan permasalahan pembelajaran di kelas, atau dengan siswa.  

Kemudian, bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik? Keberpihakan dan mengutamakan kepentingan murid dapat tercipta dari pikiran pendidik yang mampu membuat solusi tepat dari setiap permasalahan yang terjadi. Pendidik yang mampu melihat permasalahan dari berbagai kacamata dan ketepatan kemampuan pendidik dalam membedakan apakah permasalahan yang dihadapi termasuk dilema etika ataukah bujukan moral. Seorang pendidik ketika dihadapkan dengan kasus-kasus yang fokus terhadap masalah moral dan etika, baik secara sadar atau pun tidak akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai yang dianutnya akan mempengaruhi dirinya dalam mengambil sebuah keputusan. Jika nilai-nilai yang dianutnya nilai-nilai positif maka keputusan yang diambil akan tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan dan begitupun sebaliknya. Perlu diketahui kembali bahwa Nilai-nilai yang dianut oleh Guru Penggerak adalah reflektif, mandiri, inovatif, kolaboratif dan berpihak pada anak didik. Nilai-nilai tersebut akan mendorong guru untuk menentukan keputusan masalah moral atau etika yang tepat sasaran, benar dan meminimalisir kemungkinan kesalahan pengambilan keputusan yang dapat merugikan semua pihak khususnya siswa. Pengambilan keputusan yang berdasarkan nilai-nilai kebaikan tentu akan menghasilkan keputusan yang tepat dan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Tidak semua aksi positif yang dilakukan dalam sebuah komunitas akan ditanggapi positif oleh orang lain. Kritik dan masukan merupakan sebuah dinamika apalagi dalam pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak di sekolah. Terkadang tindakan positif yang kita lakukan disalahartikan oleh pihak yang tidak suka terhadap pribadi. Dalam hal ini, nilai-nilai kebajikan yang diyakini oleh guru menjadi peran penting dalam konsistensi guru dalam menerapkan nilai-nilai tersebut dalam setiap pengambilan keputusannya, terutama pada pembelajaran di kelas. Dalam penanganan kasus dilema etika, guru berpedoman pada 3 prinsip, 4 paradigma, dan  9 langkah pengambilan keputusan. Tentu saja keputusan-keputusan yang diambil yang sesuai dengan prosedur, terutama berkaitan dengan pembelajaran harus memperhatikan keberpihakan terhadap murid, sesuai dengan kebutuhan murid, relevan dengan masa kini sehingga pembelajaran yang dirancang adalah pembelajaran yang menarik perhatian murid, menyenangkan dan bermakna. 

Keputusan-keputusan yang guru ambil dalam suatu perkara siswa tentu akan berdampak pada masa depan siswa. Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan perlu betul-betul dipikirkan dengan melibatkan banyak pihak di sekolah. Dalam sesi wawancara dengan Kepala SMAN 1 Sungaiselan, Bapak Subagio, S.Pd mengatakan bahwa ada prosedur tertentu dalam sekolah dalam mengambil keputusan melibatkan warga sekolah untuk berdialog. Lebih lanjut, keputusan yang diambil juga perlu melibatkan orang tua dari siswa yang sebenarnya memiliki data-data observasi yang lebih lengkap, yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Di sekolah pun telah membentuk tim kecil dalam menanggulangi permasalahan siswa, yang terdiri dari guru mata pelajaran, guru BK dan kesiswaan untuk melakukan kajian permasalahan siswa dan menjadi bahan pertimbangan sekolah untuk merumuskan solusi terbaik yang berpihak pada murid. 

Dari uraian ini dapat saya tarik benang merah bahwa dalam pengambilan keputusan sebagai seorang pendidik harus memiliki  kompetensi yang mumpuni dan berlandaskan kepada filosofi Ki Hajar Dewantara yang dikaitkan sebagai pemimpin pembelajaran. Pengambilan keputusan harus berdasarkan pada budaya positif dan menggunakan alur BAGJA yang akan mengantarkan pada lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman (well being). Dalam pengambilan keputusan seorang guru harus memiliki kesadaran penuh (mindfullness) untuk menghantarkan muridnya menuju profil pelajar pancasila. Dalam perjalanannya menuju profil pelajar pancasila, ada banyak dilema etika dan bujukan moral sehingga diperlukan panduan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan untuk memutuskan dan memecahkan suatu masalah agar keputusan tersebut berpihak kepada murid demi terwujudnya merdeka belajar


Share:

Refleksi Penerapan Pembelajaran yang Berpusat pada Murid


 


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

Pada kesempatan kali ini ijinkan saya untuk merefleksikan materi yang sudah saya pelajari di Modul 2.1 Pembelajaran yang Berpihak pada Murid atau dikenal sebagai Pembelajaran Terdiferensiasi. Untuk kali ini saya akan mencoba melakukan refleksi dengan meodel 4F (Fact, Feelings, Findings, Future) yang dikembangkan oleh Dr Roger Greenaway. 

Pemahaman awal saya mengenai pembelajaran diferensiasi merupakan sebuah metode pembelajaran yang menjadi karakteristik kurikulum merdeka, sehingga metode ini perlu diterapkan dalam rancangan pelaksanaan pembelajaran.  Sebelumnya dalam pembelajaran saya fokus pada pengembangan keterampilan dan sikap siswa, dalam hal ini adalah penerapan 4C (critical thinking, colaboration, comunication dan creativity).  Akan tetapi, pembelajaran yang saya rancang  sebelumnya  harus diakui belum sepenuhnya bisa  memenuhi kebutuhan belajar murid yang tentu saja memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini teramati hanya beberapa murid yang termotivasi aktif mengikuti pembelajaran dan hasil belajar yang belum merata. Setelah mempelajari lebih jauh tentang Pembelajaran Diferensiasi dalam modul 2.1, saya paham bahwa pembelajaran perlu dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa yang beragam, salah satu nya dengan menerapkan diferensiasi dalam pembelajaran.  Pembelajaran pada modul 2.1 ini teleh membuka pemahaman saya tentang pembelajaran terdiferensiasi. Lebih jauh saya menjadi paham bahwa dalam pembelajaran di kelas tidak hanya sekedar metode yang harus tepat diterapkan.  Akan tetapi, ada serangkaian prinsip yang harus diyakini oleh guru dalam pembelajaran untuk memfasilitasi keragaman karakteristik murid di kelas yang dikenal sebagai pembelajaran diferensaisi. 



Pembelajaran berdiferensiasi akan memungkinkan guru memaksimalkan potensi peserta didik dengan meminimalisir kesenjangan belajar melalui proses identifikasi kebutuhan belajar murid yang tepat. Lewat pembelajaran berdiferensiasi, tidak hanya murid berkembang potensinya secara maksimal, namun proses pembelajaran juga akan lebih memberikan banyak ruang bagi murid untuk membuat dan menentukan pilihan dan memberikan suara, sehingga proses belajar akan menjadi lebih menyenangkan.

Tentu saja dalam penerapan pembelajaran diferensiasi ini sebagai pendidik menemukan kendala-kendala. Pemahaman awal guru beranggapan penerapan pembelajaran diferensiasi hanya sebatas pada pengelompokkan murid berdasarkan gaya belajar saja, sehingga pada beberapa mata pelajaran guru, seperti PJOK beranggapan bahwa pengelompokan murid dengan gaya belajar ini tidak relevan dengan pembelajaran PJOK yang banyak melakukan aktivitas di luar kelas. Padahal kembali lagi pada pemahaman bahwa pembelajaran diferensiasi merupakan serangkaian prinsip yang dilakukan guru dalam pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan murid yang bergam tadi tidak hanya terbatas pada gaya belajar, misalnya kondisi psiko emosional murid, bakat, minat dlsb.  Selain itu tantangan yang dihadapi guru dalam membiasakan dan menerapkan pembelajaran terdiferensiasi di kelas adalah guru perlu mempersiapkan pembelajaran dengan matang,  tidak bisa dilakukan spontan di kelas, sehingga tentu membutuhkan waktu bagi guru untuk melakukan analisis kebutuhan belajar murid. Bahan, media pembelajaran, dan asesmen penilaian juga perlu dipikirkan.Guru juga perlu memperkaya referensi metode pembelajarn yang bervariasi. 

Adapun hal baru yang saya temukan saat mempelajari modul pembelajaran diferensiasi ini adalah membuka pikiran saya bahwa pembelajaran yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan belajar haruslah dipersiapkan dengan sebaik mungkin. Dari konten pembelajaran yang dirancang sedemikian untuk memfasilitasi keragaman murid. Kemudian proses yang juga perlu dipikirkan oleh guru bagaimana menerapkan metode, model pembelajaran yang tepat.  Guru juga perlu memikirkan asesmen yang ternyata juga perlu disepakati bersama dengan murid agar penugasan atau produk yang diharapkan oleh guru bisa dikerjakan oleh siswa sesuai dengan rubrik penilaian yang disepakati. 

Dengan demikian, kedepan nya proses pembelajaran di kelas dapat dirancang oleh guru menjadi pembelajaran yang bermakna, menyenangkan dan murid menikmati pembelajaran tanpa ada tekanan untuk memenuhi keinginan guru. Kebutuhan nya sebagai seorang pelajar dapat terpenuhi dan tentu saja menghasilkam kompetensi yang berguna bagi murid ketika kembali ke lingkungan mereka masing-masing.

Share:

Refleksi Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

 Assalamualaikum wr wb. Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba merefleksikan pembelajaran yang sudah saya lakukan pada modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik. Saya menggunakan model refleksi 4F yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. 

Ada beberapa hal yang saya jalani pada saat pembelajaran modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik. Materi Coaching ini merupakan sebuah pembaruan bagi saya sebagai seorang pendidik sebagai bekal kompetensi saya dalam melakukan pendekatan untuk mengeksplorasi permasalahan-permasalahn yang dialami oleh baik rekan guru maupun peserta didik yang tentu saja dalam proses pembelajaran di kelas tidak terlepas dari masalah. Nah, suatu hal yang saya temukan dalam mempelajari coaching adalah setiap permasalahan yang dialami sebenarnya sudah ada dalam benak pikiran kita solusi untuk meyelesaikannya, namun solusi itu tidak keluar dari cakrawala berpikir kita karena tidak ada seoarang yang dapat menuntun penyelesaian yang sudah ada tadi. Di sinilah sebenarnya pendekatan coaching menjadi sangat bermakna karena peran seorang coach adalah menuntun coachee untuk mengeluarkan kemampuan terbaik pada diri coachee, sehingga dalam hal ini coachee mampu menemukan solusi dari permsalahan nya sendiri. Pada pembelajaran kali ini juga CGP berkesempatan untuk berlatih melakukan tahapan coaching dengan alur tirta yang tentu saja membantu CGP untuk memahami sepenuhnya tahapan dalam coaching. Dalam melaksanakan aksi nyata, CGP berpedoman pada 3 (tiga) tahapan dalam supevisi akademik, yaitu tahap pra observasi, tahap observasi dan tahap pasca observasi.  Pada tahapan pra observasi, telah membantu guru yang disupervisi untuk fokus pada   area pengembangan yang ingin dikembangkan dan guru diajak untuk merefleksikan proses pembelajaran yang sudah dilaksanakan pada tahapan pasca observasi. Dengan demikian, supervisi akademik ini lebih terarah dan ada hasil yang sama-sama ingin dicapai oleh supervisor dan guru yang disupervisi. 

Setelah melaksanakan rangkaian pembelajaran tentang supervisi akademik ini, saya merasa mendapat informasi baru mengenai proses coaching yang tentu akan membantu saya untuk mengekplorasi pemasalahan-permasalahan yang dialami oleh peserta didik dan mungkin rekan guru yang membutuhkan solusi dalam proses pembelajaran di sekolah. Saya juga merasa tertarik untuk segera menerapkannya di sekolah. 

Pelajaran yang dapat saya peroleh dari dalam melakukan coaching dengan rekan CGP, ada beberapa bagian dalam kemampuan bertanya saya yang perlu ditingkatkan karena ini menjadi point penting dalam mendalami permasalahan yang dialami oleh coache. Suasana santai untuk memahami permasalahan yang dialami perlu dibangun dengann baik agar alur TIRTA dalam coaching dapat terlaksana dan pada akhirnya mampu menuntun coache menemukan solusi. 

Dengan berlatih kita menjadi belajar sesuatu yang baru yang akan diterapkan di sekolah. Dengan sering mengaplikasikan dalam pembelajran di sekolah tentu saja kemampuan diri dalam melakukan coaching akan semakin baik. Kedepan nya pola coaching dan tahapan dalam supervisi akademik ini perlu dibagikan pada pihak yang berkepentingan agar supervisi akademik jadi fokus pada area tertentu saja untuk dikembangkan, sehingga ada upaya guru untuk melihat kelemahan nya dalam mengajar di kelas dan memperbaiki nya agar kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. 


Video 1. Contoh Penerapan Coaching dengan Alur TIRTA


                                        Video 2. Aksi nyata Coaching untuk Supervisi Akademik 


Share:

Recent Posts