JURNAL REFLEKSI MODUL 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya

 


Assalamualaikum, saya Arfi Kurniawan Calon Guru Penggerak Angkatan 9 Provinsi Kep. Bangka Belitung. Pada kesempatan ini saya akan menulis mengenai Jurnal Refleksi Dwi Mingguan pada modul 3.2 tentang Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya. Jurnal ini sebagai refleksi diri setelah selama dua minggu ke-2 mengikuti kegiatan Pendidikan CGP yang kedepannya akan ditulis secara rutin selama dua mingguan sebagai tugas yang harus dikerjakan oleh calon guru penggerak.

Dalam menulis jurnal refleksi ini saya menggunakan model 4F (Fact, Feeling, Findings, dan Future, yang diprakarsai oleh Dr. Roger Greenaway. 4F dapat diterjemahkan menjadi 4P yakni : Peristiwa; Perasaan; Pembelajaran; dan Penerapan.

1.       Fact (Peristiwa)

Setelah mempelajari modul 3.2, saya melanjutkan ke materi modul 3.2 Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya. Saya mulai mempelajari modul 3.2 tentang Pemimpin dalam Pengelolaan Sumber Daya secara daring di LMS dengan alur M-E-R-D-E-K-A yaitu: mulai dari diri, eksplorasi konsep, ruang kolaborasi, demonstrasi kontekstual, elaborasi pemahaman, koneksi antarmateri dan aksi nyata. Saya membuka alur pertama “Mulai dari Diri”. Di sini saya diminta untuk menjawab tujuh pertanyaan yang bertujuan untuk mengaktifkan ulang pengetahuan awal Anda tentang ekosistem sekolah dan peran pemimpin dalam pengelolaan sumber daya sekolah.

Saya lanjutkan alur kedua yaitu eksplorasi konsep. pada alur eksplorasi konsep saya sebagai calon guru penggerak belajar secara mandiri melalui materi-materi yang disajikan dalam forum LMS, saya juga diminta untuk mendalami materi pemimpin dalam pengelolaan sumber daya. Disini kami mempelajari sekolah sebagai ekosistem, Pendekatan Berbasis Kekurangan/Masalah (Deficit-Based Approach) dan Pendekatan Berbasis Aset/Kekuatan (Asset-Based Approach), pendekatan ABCD (Asset Based Community Development), karakteristik komunitas yang sehat dan komunitas, pengalaman rapat dan mendiskusikan murid. Disini juga kami mempelajari kasus 1 dan kasus 2 tentang kegiatan rapat guru membahas kegiatan perpisahan kelulusan murid. Kami diajak untuk melakukan analisa mengenai suasana rapat tersebut.

Setelah kami lanjut 3.2.a.4.1. Eksplorasi Konsep – Pertanyaan Pemantik. disini kami membaca penjelasan tentang pendekatan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset, disini kami diminta melihat ulang jawaban dari pertanyaan pemantik sebelumnya. Selanjutnya kami menjawab pertanyaan yang disajikan Eksplorasi Konsep (Forum Diskusi Asinkron).  Kegiatan selanjutnya yaitu 3.2.a.4.2. Eksplorasi Konsep – Forum Diskusi. disini kami diminta untuk mengerjakan 2 studi kasus tentang hubungkan dengan materi pendekatan berbasis masalah dan pendekatan berbasis aset, serta Pengembangan Komunitas Berbasis Aset.

Kegiatan selanjutnya yaitu alur ketiga ruang kolaborasi dibagi menjadi dua sesi. sesi satu adalah diskusi dengan anggota kelompok yang dipandu oleh fasilitator dan yang kedua adalah bagian presentasi hasil diskusi kelompok. Semua itu dilakukan melalui room google meet. Disini kami melakukan diskusi untuk membahas kekuatan/aset sumber daya yang dimiliki di sekolah masing-masing dan daerah kami. Dilanjutkan ruang kolaborasi sesi 2 yaitu presentasi hasil kelompok.

Kegiatan selanjutnya di alur empat demonstrasi kontekstual, kami ditugaskan untuk menganalisis video di LMS tentang visi dan prakarsa perubahan, mengidentifikasi kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan masing-masing tahapan BAGJA, mengidentifikasi peran pemimpin pembelajaran, dan menganalisis modal utama yang dapat dimanfaatkan.

 

Kegiatan selanjutnya di alur kelima elaborasi pemahaman, saya ditugaskan untuk memberikan pertanyaan yang dapat menguatkan pemahaman saya tentang isi modul 3.2. Ada beberapa  yang akan menguatkan pemahaman saya akan materi konsep di modul 3.2. Alur terakhir dari alur merdeka adalah aksi nyata. Pada aksi nyata ini kami sebagai calon guru penggerak diminta untuk melakukan aksi nyata dengan mengidentifikasikan sumber daya sebagai aset/kekuatan yang dimiliki sekolah. Identifikasi sumber daya sekolah dilakukan secara kolaboratif agar semua warga sekolah dapat bersama-sama mengetahui dan memanfaatkannya untuk peningkatan kualitas pendidikan.

 

2.       Perasaan (Feeling)

Perasaan sebelum mempelajari modul 3.2 ini saya berpikir kekurangan dan masalah yang ada di sekolah dan saya berpikir bahwa aset yang ada di sekolah hanya berupa sarana dan prasarana yang di sekolah. Setelah mempelajari modul 3.2 pemimpin dalam pengelolaan sumber daya akhirnya saya mampu merubah cara berpikir saya bahwa kita harus berpikir berbasis aset/kekuatan. Dengan cara pandang berbasis aset ini membuat saya mengoptimalkan aset/modal dan kekuatan yang ada untuk melaksanakan program sekolah. Berpikir berbasis aset/kekuatan sangat penting dimiliki oleh seorang pemimpin karena pemimpin harus dapat memaksimalkan potensi yang ada dalam ekosistem sekolahnya. Dengan memaksimalkan potensi yang ada dapat menggerakan ekosistem sekolah untuk dapat berpikir positif dalam mengembangkan sekolah.

Perasaan saya setelah mempelajari modul sangat senang, bersemangat, dan optimis bahwa kita begitu banyak memiliki aset/modal potensi yang belum tergali dan belum dimanfaatkan dengan optimal. Saya juga senang karena dapat berbagi praktik baik bagaimana kita memetakan aset/modal yang ada di sekolah. Dengan memetakan aset/modal yang ada kita dapat memanfaatkannya untuk merencanakan program yang berdampak bagi murid. Hasil pemetaan aset dan pemanfaatannya membuat kami optimis untuk memanfaatkan aset/modal yang dimiliki untuk mengembangkan sekolah yang berdampak bagi murid. Saya juga senang dapat mengajak rekan-rekan sejawat untuk berpikir berbasis kekuatan. Berpikir berbasis kekuatan ini membuat kita menyadari potensi yang dimiliki dan dimanfaatkan dalam program-program sekolah.

 

3.       Pembelajaran (Findings)

Pembelajaran yang saya peroleh dalam modul ini yaitu kami diajak untuk mengingat dan menulis tentang sekolah adalah sebuah ekosistem yang terdiri dari faktor biotik dan abiotik yang saling berinteraksi untuk menciptakan hubungan yang selaras dan harmonis. Faktor biotik seperti murid, kepala sekolah, guru, staf sekolah, pengawas sekolah, orang tua, masyarakat sekitar sekolah, dinas terkait, dan pemerintah daerah saling memengaruhi dan membutuhkan keterlibatan aktif satu sama lainnya. Sedangkan faktor abiotik seperti keuangan, sarana dan prasarana, dan lingkungan alam juga berperan aktif dalam menunjang keberhasilan proses pembelajaran di sekolah. Dengan memahami ekosistem sekolah, diharapkan dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antara semua faktor yang terlibat dalam proses pendidikan untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Dalam pengelolaan sumber daya dapat dilakukan dengan 2 pendekatan, yaitu

Pendekatan berbasis kekurangan (deficit-based approach) akan memusatkan perhatian pada masalah dan kekurangan yang ada di sekolah.

Pendekatan berbasis aset (asset-based approach) akan memusatkan perhatian pada kekuatan dan potensi yang ada di sekolah.

Pendekatan berbasis aset memiliki manfaat yang lebih positif dalam mengembangkan diri dan mencari peluang, daripada pendekatan berbasis kekurangan yang cenderung menimbulkan pikiran negatif. Oleh karena itu, sebaiknya kita mengadopsi pendekatan berbasis aset untuk melihat sumber daya sekolah agar dapat memanfaatkan kekuatan dan potensi yang ada untuk mencapai kesuksesan.

Selain itu pengelolaan sumber daya yang ada di sekolahnya juga dapat menggunakan Asset-Based Community Development (ABCD) kita sebut dengan Pengembangan Komunitas Berbasis Aset (PKBA) yang dikembangkan oleh John McKnight dan Jody Kretzmann. Pendekatan PKBA atau Asset-Based Community Development (ABCD) merupakan suatu kerangka kerja yang membangun kemandirian dari suatu komunitas dengan memfokuskan pada potensi aset/sumber daya yang dimilikinya.

Pendekatan ini berbeda dengan pendekatan tradisional yang menekankan pada masalah, kebutuhan, dan kekurangan pada suatu komunitas. PKBA menekankan pada kapasitas, kemampuan, pengetahuan, jaringan, dan potensi yang dimiliki oleh komunitas. Dengan demikian, pendekatan PKBA mendorong terciptanya kehidupan komunitas yang lebih berkelanjutan dan berdaya guna. Di dalam sebuah sekolah, pendekatan PKBA dapat diterapkan dengan memanfaatkan potensi dan sumber daya yang dimiliki oleh seluruh warga sekolah agar kegiatan pendidikan dapat diselenggarakan secara efisien dan efektif. Sekolah bisa kita pandang sebagai sebuah komunitas. Karena itu, sekolah dapat belajar tentang bagaimana menjadi komunitas yang sehat dan tangguh. Bank of I.D.E.A.S (2014) menyebut bahwa karakteristik komunitas yang sehat dan resilien adalah sebagai berikut:

  •   Mempraktikkan dialog berkelanjutan dan partisipasi anggota masyarakat
  •  Menumbuhkan komitmen terhadap tempat
  • Membangun koneksi dan kolaborasi
  • Mengenal dirinya sendiri dan membangun aset yang ada
  • Membentuk masa depannya
  • Bertindak dengan obsesi ide dan peluang
  •  Merangkul perubahan dan bertanggung jawab
  • Menghasilkan kepemimpinan

Komunitas sekolah dapat memanfaatkan sumber daya yang dimilikinya seperti halnya komunitas pada umumnya dengan menggunakan pendekatan pengembangan komunitas berbasis aset. Pemanfaatan sumber daya tersebut dapat dilakukan dengan memetakan tujuh aset utama atau modal utama yang meliputi modal manusia, modal sosial, modal politik, modal agama & budaya, modal fisik, modal lingkungan/alam dan modal finansial. Dalam pemanfaatannya, ketujuh aset tersebut dapat saling beririsan satu sama lain.

 

  1. 1.       Modal manusia: dapat diidentifikasi melalui pemetaan individu berdasarkan pengetahuan, kecerdasan, dan keterampilan yang dimiliki.
  2. 2.       Modal sosial: terdiri dari norma, aturan, kepercayaan, dan jaringan antar unsur di dalam komunitas/masyarakat.
  3. 3.       Modal politik: mencakup kemampuan kelompok untuk memengaruhi distribusi sumber daya di dalam unit sosial dan merupakan instrumen melalui sumber daya manusia yang dapat memengaruhi kebijakan.
  4. 4.       Modal agama dan budaya: Agama berperan dalam mengintegrasikan perilaku individu dalam sebuah komunitas, sedangkan kebudayaan merujuk pada hasil karya manusia yang lahir dari serangkaian ide, gagasan, norma, perilaku, serta benda.
  5. 5.       Modal fisik: terdiri dari bangunan dan infrastruktur.
  6. 6.       modal lingkungan/alam: mencakup potensi alam yang belum diolah dan memiliki nilai ekonomi tinggi.
  7. 7.       modal finansial adalah dukungan keuangan yang dimiliki oleh sebuah komunitas dan dapat digunakan untuk membiayai pembangunan dan kegiatan.

Pemanfaatan ketujuh modal utama tersebut dapat dilakukan untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang berorientasi pada peningkatan kualitas pembelajaran di sekolah. Kesimpulan dari pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya adalah Sebagai seorang pemimpin harus memiliki kemampuan untuk mengenali, menggali, menganalisis, dan memetakan potensi sumber daya di sekolah kita dengan menggunakan pendekatan berbasis aset (asset-based thinking). Dalam menerapkan pendekatan ini, kita harus memanfaatkan dan memberdayakan aset tersebut secara optimal untuk mewujudkan perubahan dalam pembelajaran yang berpihak pada murid, sejalan dengan filosofi Ki Hajar Dewantara bahwa pembelajaran harus berpihak pada murid. Untuk mewujudkan hal tersebut, sebagai pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya, kita juga harus dapat menggali kekuatan-kekuatan yang dimiliki oleh suatu komunitas dalam ekosistem, baik itu dari komponen abiotik maupun biotik. Kita harus memandang setiap hal sebagai aset yang menjadi modal utama dalam mengembangkannya. Ada 7 modal utama atau aset yang harus dikelola, yaitu modal manusia, modal sosial, modal politik, modal agama dan budaya, modal fisik, modal alam/lingkungan, dan modal finansial. Hal ini sangat penting dalam mewujudkan perubahan dalam pembelajaran yang berpihak pada murid. Oleh karena itu, sebagai pemimpin pembelajaran dalam pengelolaan sumber daya, kita harus dapat mengimplementasikan pendekatan berbasis aset ini di kelas, sekolah, dan masyarakat sekitar kita

 

4.       Penerapan (Future)

Kedepannya dalam penerapan di kelas dan di sekolah bahwa sebagai pemimpin saya harus mengelola 7 aset utama sebagai kekuatan dalam meningkatan mutu pendidikan sekolah dengan menggunakan pendekatan berbasis kekuatan/aset dan pendekatan berbasis kekurangan. Saya memandang guru sebagai aset manusia yang utama dalam melaksanakan pembelajaran harus berinovasi dan memperkaya diri dalam mengelola sumber daya di kelas dan di sekolah agar tercipta pendidikan yang berpihak pada murid.

Menuntun segala kodrat yang ada pada anak, memberdayakan nilai dan peran guru, membuat visi perubahan, menciptakan budaya positif, menerapkan pembelajaran berdiferensiasi dan sosial emosional agar pengambilan keputusan tepat, melakukan coach dan supervisi akademik, pengambilan keputusan yang berbasis nilai kebajikan dapat dilakukan jika pengelolaan sumber daya dapat dijalankan dengan sungguh-sungguh.

 

 


Share:

REFLEKSI MODUL 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

 Assalamualaikum wr wb. 

Pada kesempatan kali ini, saya akan merefleksikan pembelajaran yang sudah saya jalani selama mempelajari Modul 3.1 mengenai Pengambilan Keputusan yang Berbasis Nilai-nilai Kebajikan. Saya akan memuat refleksi dengan metode 4F (Fact, Feel, Find, Future) yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. 

Setelah 2 minggu mempelajari Modul 3.1 banyak sekali hal-hal baru yang dapat diserap dan diterapkan di sekolah, diantaranya terkait dengan pengambilan keputusan ada langkah-langkah sistematis yang perlu dilakukan dan menjadi bahan pertimbangan sebelum pada akhirnya memutuskan keputusan yang tepat. Seperti yang sudah dipelajari ada 3 prinsip, 4 paradigma dan 9 langkah pengambilan keputusan yang dapat menuntun seorang pendidik sebelum membuat keputusan yang tepat. Tentu saja keputusan yang diambil didasarkan pada 3 dasar pengambilan keputusan yaitu tanggung jawab, bernilai kebajikan dan berpihak pada murid. Selain itu, yang juga menjadi pedoman dasar pengambilan keputusan adalah pratap triloka Ki Hadjar Dewantara : Ingarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karso, Tut Wuri Handayani. Hal baik yang saya dapatkan pada pembelajaran kali ini, ada sesi bertukar pikiran dengan Kepala Sekolah melalui sesi wawancara, berbagi pengalaman Kepala Sekolah dalam menghadapi permasalahan dan berkaitan dengan pengambilan keputusan yang bijak. Ada point-point penting yang saya catat dari sesi wawancara dengan kepala sekolah diantaranya : 

  1. Pengambilan keputusan di sekolah didasarkan pada musyawarah dengan warga sekolah.
  2. Keputusan yang diambil merupakan keputusan bersama setelah melewati serangkaian prosedur. 
  3. Pertimbangan pengambilan keputusan dapat dilihat dari berbagai masukan diantaranya tim kecil yang bertugas dalam melakukan kajian yang terdiri dari kesiswaan, guru, dan BK
  4. Penegakan aturan di sekolah mempertimbangkan nilai-nilai etika seperti tanggung jawab pada tugas, empati, keadilan dan lain sebagainya. 
Dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan dilema etika dan bujukan moral sebagai seorang pendidik tetap berpegangan nilai-nilai etika.  Sebagai seorang pendidik ada standar etika yang harus dipegang dalam setiap tindakan yang diambil, terutama dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai kebajikan dalam etika adalah pegangan utama yang harus dijunjung tinggi, misalnya nilai keadilan untuk menegakkan aturan, empati kepada siswa, tanggung jawab dalam tugas dan lain sebagainya. Sebagaimana dasar dalam pengambilan keputusan memperhatikan tiga dasar, yaitu tanggung jawab, mengandung nilai kebajikan dan berpihak pada murid. Seorang pendidik ketika dihadapkan dengan kasus-kasus yang fokus terhadap masalah moral dan etika, baik secara sadar atau pun tidak akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai yang dianutnya akan mempengaruhi dirinya dalam mengambil sebuah keputusan. Jika nilai-nilai yang dianutnya nilai-nilai positif maka keputusan yang diambil akan tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan dan begitupun sebaliknya. 

Setelah mengikuti rangkaian tahapan pembelajaran mulai dari diri, eksplorasi konsep, ruang kolaborasi, demonstrasi kontekstual, elaborasi pemahaman, koneksi antar materi dan aksi nyata di modul 3.1 yang saya rasakan sangat menikmati pembelajaran yang sudah saya pelajari. Dalam ruang kolaborasi saya bisa tercerahkan dengan materi karena mendapatkan pemahaman dari rekan CGP melalui kolaborasi bersama dalam kelompok. Pengalaman berkolaborasi dalam Program Guru Penggerak ini sangat berkesan, karena seringkali ide/gagasan baru dapat saya serap dari rekan sesama CGP. Budaya kolaborasi ini sangat positif dan baik jika diterapkan di sekolah, terutama berkaitan dengan pengambilan keputusan atau penetapan kebijakan di sekolah. Kolaborasi antar warga sekolah dalam memutuskan perkara, menetapkan kebijakan, program dlsb tentu akan menghasilkan keputusan bersama dengan harapan  berpihak pada murid.  

Dengan mempelajari modul 3.1 ini, saya menemukan pengetahuan baru tentang langkah-langkah dalam pengambilan keputusan. Pelajaran yang dapat saya ambil sebagai pemimpin pembelajaran setiap permasalahan harus terlebih dahulu diidentifikasi dengan benar akar permasalahannya. Sebelum memutuskan sebuah perkara ada baiknya untuk mendengar ide/gagasan dari warga sekolah. Keputusan yang diambil adalah keputusan bersama yang diperoleh melalui dialog/musyawarah. Pengambilan keputusan ini dengan berpedoman pada 3 prinsip, 4 paradigma dan 9 langkah pengambilan keputusan. Selain itu juga menjunjung tinggi nilai etika yang berisi nilai-nilai kebajikan, apalagi yang berkaitan dengan masa depan murid. Dengan demikian, diharapkan keputusan final yang dihasilkan adalah keputusan yang sudah melewati serangkaian pertimbangan yang matang. 

Ke depan nya nanti apabila nanti saya menemukan permasalahan yang berkaitan dengan dilema etika dan bujukan moral, saya akan memikirkan solusi dari permasalahan melalui langkah-langkah yang sudah saya pelajari pada modul ini. Dari sesi wawancara dengan kepala sekolah, saya juga bisa mengadopsi pola pengambilan keputusan yang sudah digunakan pada beberapa perkara dimana dihadapkan pada penetapan kebijakan. 




Share:

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 3.1 PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN SEBAGAI PEMIMPIN PEMBELAJARAN

PENGAMBILAN KEPUTUSAN BERBASIS NILAI-NILAI KEBAJIKAN 

Sebagai seorang pendidik seringkali akan  bersinggungan atau berhadapan dengan permasalahan-permasalahan di sekolah, yang berkaitan dengan kesiswaaan, tantangan/ hambatan dalam proses pembelajaran di kelas atau permasalahan dengan warga sekolah lain. Permasalahan-permasalahan ini tentu saja memerlukan solusi yang tepat. Oleh karena itu, sebagai pemimpin pembelajaran guru juga perlu memiliki kompetensi yang mumpuni dalam memutuskan solusi dari permasalahan tersebut. Harapan dari solusi yang diputuskan adalah solusi yang bisa memfasilitasi kebutuhan dari seluruh warga sekolah. Dalam hal ini misalnya permasalahan yang berkaitan dengan siswa dan pembelajaran di kelas solusi yang diputuskan oleh guru haruslah berpihak pada murid. Kemudian, solusi dari permasalahan yang berkaitan dengan warga sekolah juga harus memenuhi aspek wellbeing warga sekolah. 




Lalu, Bagaimana filosofi Ki Hajar Dewantara dengan Pratap Triloka memiliki kaitan dengan penerapan pengambilan keputusan sebagai seorang pemimpinFilosofi Ki Hadjar Dewantara ( Ing ngarso Sung Tulodo, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani) merupakan  prinsip dasar dalam mengambil keputusan agar solusi yang diputuskan merupakan solusi yang berpihak pada murid. Kalau saya kaitkan dengan wawancara dengan kepala sekolah, mengatakan bahwa setiap masalah yang dialami oleh siswa tentu memiliki latar belakang yang perlu dianalisis lebih dalam penyebabnya. Tindakan yang dilakukan oleh siswa punya alasan tertentu yang perlu dieksplorasi oleh guru sebelum mengambil keputusan. Guru perlu melakukan investigasi dari siswa, keluarga, dan lingkungan tempat tinggal nya. Seburuk-buruk penilaian terhadap siswa pasti ada nilai-nilai kebaikan yang ditemukan pada dirinya dan itu menjadi pertimbangan oleh sekolah untuk memutuskan solusi terbaik terhadap permsalahan yang dibuat oleh siswa. Pada akhirnya keputusan yang diambil adalah keputusan yang memperhatikan masa depan pendidikan dari siswa atau dengan kata lain Berpihak pada Murid.

Bagaimana nilai-nilai yang tertanam dalam diri kita, berpengaruh kepada prinsip-prinsip yang kita ambil dalam pengambilan suatu keputusan? Sebagai seorang pendidik ada standar etika yang harus dipegang dalam setiap tindakan yang diambil, terutama dalam pengambilan keputusan. Nilai-nilai kebajikan dalam etika adalah pegangan utama yang harus dijunjung tinggi, misalnya nilai keadilan untuk menegakkan aturan, empati kepada siswa, tanggung jawab dalam tugas dan lain sebagainya. Sebagaimana dasar dalam pengambilan keputusan memperhatikan tiga dasar, yaitu tanggung jawab, mengandung nilai kebajikan dan berpihak pada murid. 

Dalam pengambilan keputusan biasanya yang saya alami menimbulkan keraguan atas keputusan yang diambil. Lalu bagaimana mengatasi hal tersebut? 1 hal yang saya dapatkan ketika melakukan diskusi tanya jawab dengan Kepala SMAN 2 Sungaiselan, Dr. Hamdan, S.Pd.,M.M  ketika mengalami keraguan, keputusan final yang diambil perlu pengkajian ulang dari sisi data yang menjadi pertimbangan dalam  pengambilan keputusan. Kemudian proses yang sudah sesuai prosedur. Pedoman kita dalam memutuskan suatu perkara adalah aturan. Namun, penegakan aturan terutama dalam institusi pendidikan perlu pertimbangan nilai-nilai etika, seperti empati, tanggung jawab, keadilan dan lain sebagainya. Efektifitas pengambilan keputusan apabila menemukan keraguan atau kejanggalan dapat dikaji lebih lanjut melalui sesi "Coaching" atau bimbingan dengan pendamping atau fasilitator. Dalam sesi coaching dengan menggunakan alur TIRTA akan membantu kita untuk membuka pikiran/ menganalisis proses pengambilan keputusan tersebut apakah sudah sesuai. 



Kompetensi sosial emosional juga merupakan aspek yang perlu dimiliki oleh guru dalam menghadapi permasalahan yang berkaitan dengan dilema etika. Kemampuan sosial emosional yang perlu didalami oleh guru untuk memutuskan suatu permasalahan diantaranya dalam hal mengelola diri, mengelola stress, mempertimbangkan pendapat orang lain, rasa empati dan kepedulian terhadap orang lain serta kemampuan berkomunikasi efektif. Kemampuan-kemampuan tersebut tentu akan membantu guru untuk berpikir jernih dalam mempertimbangkan solusi terbaik yang diambil saat berhadapan dengan permasalahan pembelajaran di kelas, atau dengan siswa.  

Kemudian, bagaimana pembahasan studi kasus yang fokus pada masalah moral atau etika kembali kepada nilai-nilai yang dianut seorang pendidik? Keberpihakan dan mengutamakan kepentingan murid dapat tercipta dari pikiran pendidik yang mampu membuat solusi tepat dari setiap permasalahan yang terjadi. Pendidik yang mampu melihat permasalahan dari berbagai kacamata dan ketepatan kemampuan pendidik dalam membedakan apakah permasalahan yang dihadapi termasuk dilema etika ataukah bujukan moral. Seorang pendidik ketika dihadapkan dengan kasus-kasus yang fokus terhadap masalah moral dan etika, baik secara sadar atau pun tidak akan terpengaruh oleh nilai-nilai yang dianutnya. Nilai-nilai yang dianutnya akan mempengaruhi dirinya dalam mengambil sebuah keputusan. Jika nilai-nilai yang dianutnya nilai-nilai positif maka keputusan yang diambil akan tepat, benar dan dapat dipertanggung jawabkan dan begitupun sebaliknya. Perlu diketahui kembali bahwa Nilai-nilai yang dianut oleh Guru Penggerak adalah reflektif, mandiri, inovatif, kolaboratif dan berpihak pada anak didik. Nilai-nilai tersebut akan mendorong guru untuk menentukan keputusan masalah moral atau etika yang tepat sasaran, benar dan meminimalisir kemungkinan kesalahan pengambilan keputusan yang dapat merugikan semua pihak khususnya siswa. Pengambilan keputusan yang berdasarkan nilai-nilai kebaikan tentu akan menghasilkan keputusan yang tepat dan berdampak pada terciptanya lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman.

Tidak semua aksi positif yang dilakukan dalam sebuah komunitas akan ditanggapi positif oleh orang lain. Kritik dan masukan merupakan sebuah dinamika apalagi dalam pengambilan keputusan yang melibatkan banyak pihak di sekolah. Terkadang tindakan positif yang kita lakukan disalahartikan oleh pihak yang tidak suka terhadap pribadi. Dalam hal ini, nilai-nilai kebajikan yang diyakini oleh guru menjadi peran penting dalam konsistensi guru dalam menerapkan nilai-nilai tersebut dalam setiap pengambilan keputusannya, terutama pada pembelajaran di kelas. Dalam penanganan kasus dilema etika, guru berpedoman pada 3 prinsip, 4 paradigma, dan  9 langkah pengambilan keputusan. Tentu saja keputusan-keputusan yang diambil yang sesuai dengan prosedur, terutama berkaitan dengan pembelajaran harus memperhatikan keberpihakan terhadap murid, sesuai dengan kebutuhan murid, relevan dengan masa kini sehingga pembelajaran yang dirancang adalah pembelajaran yang menarik perhatian murid, menyenangkan dan bermakna. 

Keputusan-keputusan yang guru ambil dalam suatu perkara siswa tentu akan berdampak pada masa depan siswa. Oleh karena itu, proses pengambilan keputusan perlu betul-betul dipikirkan dengan melibatkan banyak pihak di sekolah. Dalam sesi wawancara dengan Kepala SMAN 1 Sungaiselan, Bapak Subagio, S.Pd mengatakan bahwa ada prosedur tertentu dalam sekolah dalam mengambil keputusan melibatkan warga sekolah untuk berdialog. Lebih lanjut, keputusan yang diambil juga perlu melibatkan orang tua dari siswa yang sebenarnya memiliki data-data observasi yang lebih lengkap, yang dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengambilan keputusan. Di sekolah pun telah membentuk tim kecil dalam menanggulangi permasalahan siswa, yang terdiri dari guru mata pelajaran, guru BK dan kesiswaan untuk melakukan kajian permasalahan siswa dan menjadi bahan pertimbangan sekolah untuk merumuskan solusi terbaik yang berpihak pada murid. 

Dari uraian ini dapat saya tarik benang merah bahwa dalam pengambilan keputusan sebagai seorang pendidik harus memiliki  kompetensi yang mumpuni dan berlandaskan kepada filosofi Ki Hajar Dewantara yang dikaitkan sebagai pemimpin pembelajaran. Pengambilan keputusan harus berdasarkan pada budaya positif dan menggunakan alur BAGJA yang akan mengantarkan pada lingkungan yang positif, kondusif, aman dan nyaman (well being). Dalam pengambilan keputusan seorang guru harus memiliki kesadaran penuh (mindfullness) untuk menghantarkan muridnya menuju profil pelajar pancasila. Dalam perjalanannya menuju profil pelajar pancasila, ada banyak dilema etika dan bujukan moral sehingga diperlukan panduan 9 langkah pengambilan dan pengujian keputusan untuk memutuskan dan memecahkan suatu masalah agar keputusan tersebut berpihak kepada murid demi terwujudnya merdeka belajar


Share:

Recent Posts