Refleksi Penerapan Pembelajaran yang Berpusat pada Murid


 


Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh. 

Pada kesempatan kali ini ijinkan saya untuk merefleksikan materi yang sudah saya pelajari di Modul 2.1 Pembelajaran yang Berpihak pada Murid atau dikenal sebagai Pembelajaran Terdiferensiasi. Untuk kali ini saya akan mencoba melakukan refleksi dengan meodel 4F (Fact, Feelings, Findings, Future) yang dikembangkan oleh Dr Roger Greenaway. 

Pemahaman awal saya mengenai pembelajaran diferensiasi merupakan sebuah metode pembelajaran yang menjadi karakteristik kurikulum merdeka, sehingga metode ini perlu diterapkan dalam rancangan pelaksanaan pembelajaran.  Sebelumnya dalam pembelajaran saya fokus pada pengembangan keterampilan dan sikap siswa, dalam hal ini adalah penerapan 4C (critical thinking, colaboration, comunication dan creativity).  Akan tetapi, pembelajaran yang saya rancang  sebelumnya  harus diakui belum sepenuhnya bisa  memenuhi kebutuhan belajar murid yang tentu saja memiliki karakteristik yang beragam. Hal ini teramati hanya beberapa murid yang termotivasi aktif mengikuti pembelajaran dan hasil belajar yang belum merata. Setelah mempelajari lebih jauh tentang Pembelajaran Diferensiasi dalam modul 2.1, saya paham bahwa pembelajaran perlu dirancang untuk memenuhi kebutuhan siswa yang beragam, salah satu nya dengan menerapkan diferensiasi dalam pembelajaran.  Pembelajaran pada modul 2.1 ini teleh membuka pemahaman saya tentang pembelajaran terdiferensiasi. Lebih jauh saya menjadi paham bahwa dalam pembelajaran di kelas tidak hanya sekedar metode yang harus tepat diterapkan.  Akan tetapi, ada serangkaian prinsip yang harus diyakini oleh guru dalam pembelajaran untuk memfasilitasi keragaman karakteristik murid di kelas yang dikenal sebagai pembelajaran diferensaisi. 



Pembelajaran berdiferensiasi akan memungkinkan guru memaksimalkan potensi peserta didik dengan meminimalisir kesenjangan belajar melalui proses identifikasi kebutuhan belajar murid yang tepat. Lewat pembelajaran berdiferensiasi, tidak hanya murid berkembang potensinya secara maksimal, namun proses pembelajaran juga akan lebih memberikan banyak ruang bagi murid untuk membuat dan menentukan pilihan dan memberikan suara, sehingga proses belajar akan menjadi lebih menyenangkan.

Tentu saja dalam penerapan pembelajaran diferensiasi ini sebagai pendidik menemukan kendala-kendala. Pemahaman awal guru beranggapan penerapan pembelajaran diferensiasi hanya sebatas pada pengelompokkan murid berdasarkan gaya belajar saja, sehingga pada beberapa mata pelajaran guru, seperti PJOK beranggapan bahwa pengelompokan murid dengan gaya belajar ini tidak relevan dengan pembelajaran PJOK yang banyak melakukan aktivitas di luar kelas. Padahal kembali lagi pada pemahaman bahwa pembelajaran diferensiasi merupakan serangkaian prinsip yang dilakukan guru dalam pembelajaran untuk memenuhi kebutuhan murid yang bergam tadi tidak hanya terbatas pada gaya belajar, misalnya kondisi psiko emosional murid, bakat, minat dlsb.  Selain itu tantangan yang dihadapi guru dalam membiasakan dan menerapkan pembelajaran terdiferensiasi di kelas adalah guru perlu mempersiapkan pembelajaran dengan matang,  tidak bisa dilakukan spontan di kelas, sehingga tentu membutuhkan waktu bagi guru untuk melakukan analisis kebutuhan belajar murid. Bahan, media pembelajaran, dan asesmen penilaian juga perlu dipikirkan.Guru juga perlu memperkaya referensi metode pembelajarn yang bervariasi. 

Adapun hal baru yang saya temukan saat mempelajari modul pembelajaran diferensiasi ini adalah membuka pikiran saya bahwa pembelajaran yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan belajar haruslah dipersiapkan dengan sebaik mungkin. Dari konten pembelajaran yang dirancang sedemikian untuk memfasilitasi keragaman murid. Kemudian proses yang juga perlu dipikirkan oleh guru bagaimana menerapkan metode, model pembelajaran yang tepat.  Guru juga perlu memikirkan asesmen yang ternyata juga perlu disepakati bersama dengan murid agar penugasan atau produk yang diharapkan oleh guru bisa dikerjakan oleh siswa sesuai dengan rubrik penilaian yang disepakati. 

Dengan demikian, kedepan nya proses pembelajaran di kelas dapat dirancang oleh guru menjadi pembelajaran yang bermakna, menyenangkan dan murid menikmati pembelajaran tanpa ada tekanan untuk memenuhi keinginan guru. Kebutuhan nya sebagai seorang pelajar dapat terpenuhi dan tentu saja menghasilkam kompetensi yang berguna bagi murid ketika kembali ke lingkungan mereka masing-masing.

Share:

Refleksi Modul 2.3 Coaching Untuk Supervisi Akademik

 Assalamualaikum wr wb. Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba merefleksikan pembelajaran yang sudah saya lakukan pada modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik. Saya menggunakan model refleksi 4F yang dikembangkan oleh Dr. Roger Greenaway. 

Ada beberapa hal yang saya jalani pada saat pembelajaran modul 2.3 tentang Coaching untuk Supervisi Akademik. Materi Coaching ini merupakan sebuah pembaruan bagi saya sebagai seorang pendidik sebagai bekal kompetensi saya dalam melakukan pendekatan untuk mengeksplorasi permasalahan-permasalahn yang dialami oleh baik rekan guru maupun peserta didik yang tentu saja dalam proses pembelajaran di kelas tidak terlepas dari masalah. Nah, suatu hal yang saya temukan dalam mempelajari coaching adalah setiap permasalahan yang dialami sebenarnya sudah ada dalam benak pikiran kita solusi untuk meyelesaikannya, namun solusi itu tidak keluar dari cakrawala berpikir kita karena tidak ada seoarang yang dapat menuntun penyelesaian yang sudah ada tadi. Di sinilah sebenarnya pendekatan coaching menjadi sangat bermakna karena peran seorang coach adalah menuntun coachee untuk mengeluarkan kemampuan terbaik pada diri coachee, sehingga dalam hal ini coachee mampu menemukan solusi dari permsalahan nya sendiri. Pada pembelajaran kali ini juga CGP berkesempatan untuk berlatih melakukan tahapan coaching dengan alur tirta yang tentu saja membantu CGP untuk memahami sepenuhnya tahapan dalam coaching. Dalam melaksanakan aksi nyata, CGP berpedoman pada 3 (tiga) tahapan dalam supevisi akademik, yaitu tahap pra observasi, tahap observasi dan tahap pasca observasi.  Pada tahapan pra observasi, telah membantu guru yang disupervisi untuk fokus pada   area pengembangan yang ingin dikembangkan dan guru diajak untuk merefleksikan proses pembelajaran yang sudah dilaksanakan pada tahapan pasca observasi. Dengan demikian, supervisi akademik ini lebih terarah dan ada hasil yang sama-sama ingin dicapai oleh supervisor dan guru yang disupervisi. 

Setelah melaksanakan rangkaian pembelajaran tentang supervisi akademik ini, saya merasa mendapat informasi baru mengenai proses coaching yang tentu akan membantu saya untuk mengekplorasi pemasalahan-permasalahan yang dialami oleh peserta didik dan mungkin rekan guru yang membutuhkan solusi dalam proses pembelajaran di sekolah. Saya juga merasa tertarik untuk segera menerapkannya di sekolah. 

Pelajaran yang dapat saya peroleh dari dalam melakukan coaching dengan rekan CGP, ada beberapa bagian dalam kemampuan bertanya saya yang perlu ditingkatkan karena ini menjadi point penting dalam mendalami permasalahan yang dialami oleh coache. Suasana santai untuk memahami permasalahan yang dialami perlu dibangun dengann baik agar alur TIRTA dalam coaching dapat terlaksana dan pada akhirnya mampu menuntun coache menemukan solusi. 

Dengan berlatih kita menjadi belajar sesuatu yang baru yang akan diterapkan di sekolah. Dengan sering mengaplikasikan dalam pembelajran di sekolah tentu saja kemampuan diri dalam melakukan coaching akan semakin baik. Kedepan nya pola coaching dan tahapan dalam supervisi akademik ini perlu dibagikan pada pihak yang berkepentingan agar supervisi akademik jadi fokus pada area tertentu saja untuk dikembangkan, sehingga ada upaya guru untuk melihat kelemahan nya dalam mengajar di kelas dan memperbaiki nya agar kualitas pembelajaran menjadi lebih baik. 


Video 1. Contoh Penerapan Coaching dengan Alur TIRTA


                                        Video 2. Aksi nyata Coaching untuk Supervisi Akademik 


Share:

KONEKSI ANTAR MATERI MODUL 2.3 COACHING UNTUK SUPERVISI AKADEMIK


 

Pada kesempatan kali ini saya akan mencoba menghubungkan materi pada modul 2.3 mengenai coaching untuk supervisi akademik. Ada 2 pertanyaan refleksi yang akan saya jawab untuk menghubungkan materi pada modul 2.3 terkait Coaching untuk Supervisi Akademik. 

Supervisi akademik sebenarnya merupakan agenda setiap semester, guru mendapatkan observasi dari pengawas, kepala sekolah atau wakil kepala sekolah bagian kurikulum. Tujuan dari supervisi akademik ini salah satunya adalah untuk menjamin kualitas pembelajaran di kelas sesuai dengan standar yang sudah ditetapkan oleh sekolah. Sebagai seorang pendidik saya tentu saja sudah beberapa kali mendapatkan supervisi akademik. Ada beberapa catatan yang biasanya saya alami ketika disupervisi, diantaranya adalah ketegangan di awal pembelajaran karena siswa dalam hal ini juga merasa diawasi/ diobservasi oleh supervisor, fokus pengembangan seringkali tidak dijelaskan di awal, sehingga sebagai pendidik dalam pembelajran tidak tahu bagian mana yang ingin dikembangkan. Hal ini berkaitan dengan perubahan pembelajaran yang diharapkan oleh guru nantinya ketika melaksanakan pembelajaran di pertemuan selanjutnya.  

Setelah mempelajari modul 2.3 terkait Coaching untuk Supervisi Akademik, saya melihat ada pendekatan lain dalam melaksanakan supervisi akademik, yang mana sebelum observasi terlebih dahulu diawali dengan tahapan pra observasi dan setelah observasi ada pasca observasi yang menjadi bagian untuk guru merefleksikan pembelajaran yang diterapkan di kelas. Dengan adanya, tahapan pra observasi ini membuat coachee, dalam hal ini guru yang diobservasi menjadi dapat melakukan persiapan terlebih dahulu. Dengan percakapan coaching pada tahapan pra observasi, coach dan coache dapat menentukan area pengembangan yang menjadi fokus utama dalam observasi di kelas. Hal ini tentu berdampak pada kondisi/suasana belajar karena dengan persiapan ini akan mengurangi ketegangan dikelas, yang selama ini dirasakan siswa dan guru merasa diawasi proses pembelajrannya. Setelah observasi, coach menuntun coache untuk merefleksikan pembelajaran yang sudah dilaksanakan. Pada bagian ini, kendala dan hambatan dibahas bersama, dan menjadi catatan perbaikan di pembelajran berikutnya. Lalu, bagaimana peran Saya sebagi seorang coach di sekolah dan keterkaitannya dengan pembelajaran diferensiasi dan pembelajran sosial dan emosi? 

Di modul 2.3 ini CGP juga dilatih untuk melakukan coaching dengan sesama CGP dengan menggunakan alur TIRTA. Pertanyaan-pertanyaan yang sistematis untuk menggali kekuatan-kekuatan pada coache agar dapat menuntun coache menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapinya. Dengan kata lain, ada kolaborasi antar warga sekolah untuk mewujudkan pembelajaran sosial emosi, dalam hal pengelolaan diri dan keterampilan berelasi. 

Berikut adalah video pelaksanaan coaching yang dilakukan oleh CGP 






Share:

Recent Posts